WHO.i.AM #4-END

31 copy

project by junlois

prev : TEASER | 1 | 2 | 3

#4 : RUN

“Kita harus terus berjalan.”

 ||

.

Hening berlangsung sekitar dua menit, debu yang semula termenung kesepian seketika kabur ditiup angin dari jendela samping dekat Jisun terduduk. Ketap-ketip jemari Daehyun ke dasar lantai kayu menjadi pengubah pendengaran di kuping sang gadis; ditatapnya lelaki itu kemudian, menyulutkan senyum manis mengamati. Gugup memang melanda Daehyun tatkala tiba-tiba ia mendapat kado semacam itu. kapan terakhir kalinya melihat senyum Jisun memancar bak sinar senja adalah ketika perkemahan lima tahun lalu. dimana hatinya terpaut tanpa ragu untuk menolak, kendati takdir bak angin-angin mengalun, membawa kisah mereka berpetualang. Pada akhirnya, mereka akan tetap bertemu—entah dimana, kapanpun semua itu terjadi atas kehendak takdir.

Mengembalikan rasa kukuhnya hingga dua bola tersebut adu pandang kembali. Berlangsung cukup lama, hingga rasanya ingin tetap berposisi seperti ini; layaknya pangeran tengah melamar permaisuri kerajaan fiksi. Setengah dengkul pemuda itu masih mencium lantai kayu nan rimpuh, kedip matanya seakan tak mempan hanya karena satu sampai dua kali tiupan angin. Jika dikatakan gila, mungkin keduanya akan cepat-cepat menyetujui.

Tetapi lagi, hal itu hanya bersifat sementara. Setelah keduanya merunduk malu, dan Daehyun mengusap tengkuk alih-alih menyuarakan batuk sengajanya, pula ditambah Jisun yang mondar-mandir kepalanya demi dalih mencari atensi lain. Semerta-merta pencegahan agar bibir keduanya tak menyatu seperti di drama kebanyakan.

          “Berjalan bisa ‘kan?” Tanya Daehyun di sela batuk sengajanya sesaat beranjak bangkit.

Lamat-lamat Jisun melihat keadaan kaki, mengusap dengkul yang terbungkus sapu tangan itu secara lembut, hingga finalnya malah meringis sakit. Sontak Daehyun khawatir, berjongkok kembali selagi menatap wajah Jisun yang berkeringat menahan perih, tak tega.

          “Sepertinya kakimu juga terkilir,” imbuh Daehyun, lalu membalik punggung upaya membelakangi gadisnya.

          “Ada apa?”

          “Naiklah,”

Jisun tergugu, bagaimana bisa dia menyentuh punggung itu sementara ia takut-takut Daehyun keberatan atau malah berimbas umpatan setelahnya. semua pikiran jelas terpeta dari telunjuk yang mengatup ke bibir manis gadis itu.

          “Aku baik-baik saja, Ayolah.”

          “Tapi,” belum sempat Jisun mengecap kalimat berikut, lantas Daehyun menggeser kembali punggungnya agar berdekatan menyentuh kaki kursi. Jisun meragu, namun hatinya mengukuhkan agar menerima tawaran tersebut, “Baik, aku naik, tapi kamu tak boleh meringis.”

Dalam hitungan tiga detik, pemuda itu berhasil mengangkat tubuh Jisun naik ke punggungnya. Meski semula tertatih tapi ia mulai merasa ringan karena beruntungnya Jisun yang di gendong. Beban itu seakan hilang di hisap Jisun dari balik punggung lebar tersebut, seperti gadis itulah penawar yang tepat kala ia merasa lemah. Tidak, bagaimana caranya menyampaikan kekalutan yang tengah di alami sementara Jisun sendiri pasti akan terluka. Daehyun merasa kalang kabut menerima kesulitan ini. mungkin—hanya dirinya yang pantas memendam hingga pada akhir.

          “Tadi—aku melihat lemari itu bersinar,” bidik Jisun seketika, dimana tengkuk Daehyun ikut berputar; meneguk saliva sekiranya demi meredam kealotan yang tengah di alami. Gemelugut rahangnya menandakan bahwa ada beban lain yang tengah ia topang selain Jisun. bahkan jika gadisnya tahu bahwa bibir lelaki itu telah berhasil memucat pasi, sekiranya ia akan memaksa cepat-cepat di turunkan. Toh—hal itu takkan terjadi, manakala Daehyun menelannya seolah terpaksa berkehendak, melangkah tungkai ke arah almari tersebut. dan ia lekas berkata, “Kau benar, dan itu berasal dari—“

Dari tangan Daehyun yang menyingkap kain putih itu, lantas membuka kerik dua pintu rimpuhnya menampilkan sesuatu yang tak pernah Jisun lihat. Terkesan cantik, bersinar dilingkupi kelap-kelip bagai bintang di gemerlap malam. Namun, bukankah jelas sekali bahwa tumbuhan itu tampak kehausan? Sehelai daun perak yang lain tiba-tiba terjatuh, seiring Daehyun tak sengaja menekuk sebelah dengkulnya sebab mungkin karena ia keberatan menggendong Jisun.

          “Berat ya?” Daehyun merangsang kembali saraf otot di imbangi dua rahang gigi yang bersinggungan menjadi gemeletuk. Dia bangkit, dan berdiri tegak sedia kala. Dalam hati ia membenarkan tanya Jisun, “Ya, sangat berat hingga rasanya ingin ku habiskan waktu-waktu kita bersama seperti sekarang ini.”

          “Sepertinya kau harus rutin diet Jisun-a,” ejek Daehyun, lalu di selangi dengusan kecil dari gadis itu, “Ish, menyebalkan.”

Dia—Daehyun terkekeh, benar-benar terkekeh dikala keringat dinginnya menepi pada dahi lebarnya: adalah kebohongan yang tak Jisun tahu.

          “Bunga apa itu?”

          “Itu—aku,” pungkasnya, memiringkan senyum kecut semerta-merta amati daun perak yang telah terjatuh tadi mulai pias dari cahayanya. Jisun mendengus lagi, “Mulai lagi?” dua alis lain terjungkit, ditambah desah Jisun kembali menepi ke sela tengkuk pemuda itu.

          “Terserah, percaya atau tidak, jelasnya bunga itu adalah cerminan ku sebenarnya.”

Bergedik bahu Jisun mendengar penuturan Daehyun barusan, bak pengakuan bahwa dirinya akan senasib sama seperti bunga yang nyaris layu itu.

          “Jangan bercanda lagi, antar aku pulang dan tutup lagi lemari itu rapat-rapat.”

Ia tahu, bahwa gadisnya mengerti. Ia tahu, bahwa gadisnya mulai takut. Dan—ia tahu, bahwa gadisnya hendak meluncurkan seberkas fluida hangat tak terbatas. Memahami hati Jisun yang seperti itu, makin-makin Daehyun tak tega bilamana ia ungkap fakta sebenarnya. tetapi—toh, tanpa di jabarkan kiranya pun Jisun memang telah mengetahui, telah mencoba berpura-pura apatis. Demi jagat raya, lelaki itu di lingkup derita tak memuaskan.

.

.

.

Beranjak ke enam tahun kemudian, di bulan kedua setelah januari.

Welcome 2018

.

Sejak tiga hari lalu, beberapa kawanan helikopter terbang mengudara diatas kepala ribuan manusia yang sibuk menyimak pidato enam puluh menit presiden negaranya ditiap layar LED kota, sampai televisi dan gedung tinggi yang menjadi sumbernya. Adalah hall tempat petugas beserta perangkat peperangan berkumpul riuh. Sorak-sorai, ketegasan kepalan tangan mengudara kala pemimpin negara itu mengucap satu kata semangat berjuang yang lekas menelusup masuk ke relung rakyat-rakyatnya. Di akhiri senyum simpul, dari layar-layar besar tersebut orang nomor satu itu segera mengempas napas beratnya. Sembari beranjak dari podium, mengamati jajaran perangkat kerja samanya yang masih dilingkup haru biru juga jiwa api yang berkobar. Ya, dia melangkah gagah di iringi pengawal yang berjajar di sayap kanan kiri. Maka seseorang dari arah jajaran bangku pojok menyeru, memberi penghormatan terdahulu hingga akhirnya menuruni anak tangga sampai di perbatasan pengawal pangkat prajurit itu berjajar menahannya.

          “Beri dia jalan,” putus sang presdir lantas menyulut senyum ramahnya ke hadapan pemuda yang telah membungkuk lebih dari enam puluh detik.

          “Tegakkan tubuhmu, dan katakan sesuatu, Nak.”

          “Hormatku, sebelumnya terimakasih atas kesempatan yang telah di berikan. Aku bermaksud menyampaikan surat ini, dan aku memohon amat sangat agar anda mempertimbangkan kembali sebelum perang dimulai dua hari mendatang.”

Lelaki paruh baya terhormat itu lantas menepuk bahu Daehyun, mengangguk seiring langkahnya kembali berderap. Seolah-olah ia akan mempertimbangkan kembali saran Daehyun tempo lalu; saat rapat terakhir petinggi dengan ilmuwan, yang menolak bahwa alat itu selayaknya di hadapkan ke arah jam tiga menuju perbatasan antara desa kecil yang tak tersentuh perhatian dari pemerintah.

Awalnya Daehyun berniat memboyong ratusan warga disana untuk pergi ke markas besar yang terletak di bawah tanah pada kawasan jauh dari perang. Namun, kala itu usulnya di tolak mentah oleh petinggi lain dengan dalih, “Mati saja kalian disana, dari pada harus mengorbankan semua orang di kota ini.”

Iya, kiranya jika Daehyun melakukan hal tersebut akan timbul berbagai kecurigaan dari tentara seberang yang berjaga di perbatasan. Dan mungkin saja akan sampai ke telinga petinggi lainnya, sehingga terjadilah kekacauan terlebih dahulu sebelum perang dimulai. Di samping lain pula, Daehyun tak tega melihat ratusan warga itu mati seketika, tanpa tahu apa-apa, tanpa penyelamatan setimpal, pun mayat mereka juga tergeletak tanpa di kremasi atau di urus semestinya. Kasihan, tega bilamana mereka sampai demikian.

Andai kata Daehyun masih punya secuil kekuatannya, mungkin—ia akan menarik atau memindahkan ratusan warga tersebut ke tempat yang lebih aman dengan cara yang tak diketahui orang banyak. hah, dan itu cuma baru sebatas andai angan—takkan tersampaikan mengingat ia juga sudah tak punya harapan besar. Terkecuali, dan benar-benar terkecuali pemimpin negaranya mau berminat menolong, serta mengirim pasukan khusus untuk menggiring warga disana berpindah tempat ke kota yang sudah masuk zona aman ini. berharap saja terkabulkan. kalaupun tidak, mereka pantas mati di ranah perang tanpa secuil penghormatan dari seluruh orang. Ah—tetapi lebih kejam jika Daehyun berpikiran semacam itu. baiknya ia mendinginkan isi saraf demi melindungi diri sampai hari itu berlangsung.

Di atap gedung, dadanya tenggelam di batasan kubus yang memanjang bagai pagar. Dua maniknya terlempar jauh ke hamparan gedung hingga gunung Nam yang terletak tak begitu jauh jika ia mau berniat berkunjung hari ini. sayangnya seluruh objek wisata telah ditutup resmi karena perang akan berlangsung dua hari lagi. warga pun telah bergegas mengemasi barang-barang yang sekiranya akan dibutuhkan dalam gua lebar yang menganga dekat sungai Han. Mungkin tidak akan ada banyak supermarket di dalam tempat macam itu, tetapi pemerintah telah jauh-jauh hari menyediakan kegunaan sehari-hari semisal, selimut, makanan ringan hingga porsi besar, minuman dan sebagainya. Sama saja tak guna bilamana perang tengah berlangsung dan alat yang di gadang-gadang pemilik gelombang kematian itu pastinya seketika akan menghantui mereka, takut-takut mati dan menderita kelumpuhan jika radiusnya agak ringan. Jadi, tak ada waktu memikirkan tidur ataupun makan jika kejadian akan seperti itu. mereka—hanya perlu berdoa dan mewanti-wanti selamat pula dari kecaman yang lain, entah dari segi robohnya langit-langit gua ataupun sejenisnya. Ya, bukan perkara remeh jika di abaikan begitu saja.

          “Cemaskan dirimu dan kau harus tetap terjaga,” sahut Minsoo seraya menyodorkan satu cup latte. Daehyun terdongak seketika, sebatas menerima pun tersenyum simpul selagi ia lekas-lekas meneguk sekali minuman hangat itu.

          “Kautahu berapa ribu orang yang berharap hari ini dan esok dan esoknya lagi? sepertinya mereka memang ketakutan, jiwa sendiri atau orang-orang terkasihnya mungkin akan berhadapan langsung dengan genjatan api nanti.”

Daehyun merunduk, berdecak lalu menengadah kembali ke haluan angin yang tengah berputar tak berwujud. Dia menambahkan, “Aku sendiri akan ikut ke daftar orang yang di khawatirkan, meski aku tak benar-benar punya keluarga,” ia lanjut menyesap—kemudian, “Ya, aku akan ikut perang dengan diriku sendiri.”

Katakan jika Minsoo ingin lumerkan bulir hangat dari batas pelupuknya. Namun sekali lagi itu hanya keinginan buram yang mesti ia telan kembali, takut-takut ia akan goyah sebelum hari itu datang. Ia tahu, bahwa dirinya bukan tipe gadis melankolis pencetak air mata yang tak berujung. Minsoo itu kuat, menurutnya dia setara dengan tower Nam yang berdiri kokoh tanpa ambruk ditiup angin. Iya, Minsoo yang bilang sambil tertawa miris dalam hati, kendati bibirnya bergetar pula dua maniknya terpeta binar-binar letih—tak tahan.

…atau jika ia merangkul, lantas menepuk bahunya. Mungkin—kesakitan itu akan lenyap dan berpindah di kelupas angin hingga menguar kabur tak sempat nyata. Harap-harap Minsoo demikian, seperti senyum getir Daehyun mendongak ke arahnya, seolah malah menambah daftar pikulnya. Lekas-lekas Minsoo menoyor kepala Daehyun, berlagak cuek lantas menyeru, “Jangan tersenyum, bodoh.”

Daehyun sendiri berdecih lalu menyambar, “Jangan sok kuat juga, Noona.”

.

Sampai kemudian malam dingin serupa mencekam tiba, pun menyapa pemuda itu yang tengah berkutat dengan trotoar sepi tanpa di temani pejalan kaki lain. Kendaraan yang semula lalu lalang kini mulai berkurang dan dapat terhitung, terkira hanya truk pengangkut makanan silih berganti ke arah bawah tanah yang telah terbangun sejak tahun-tahun kemarin.

Warga setempat telah berpindah sementara, mungkin sebagian masih ada yang di rumah kendati ada alasan tersendiri. Daehyun akan mencoba bertandang ke rumah lamanya, sekadar meninjau keadaan disana.

Terbilang sepi, hanya ada dia seorang di komplek tersebut. dilingkup sebagian remang pula lampu yang tak sempat dimatikan warga lain. Termasuk pada kediaman nya sendiri, bahwa sang ibu telah berpindah sebelum ada intruksi terakhir yang akan di kemukakan esok hari.

Dari dua tangan yang bersembunyi dibalik long coat hitamnya, atensi Daehyun berburu ke halaman baru mereka. pun seketika ia memanggil nama Taehyung dari dalam dan mengatakan, “Kawasan ini akan terjaga, dan kau bisa melihat rumah barumu.”

          “Aku tidak berminat mendengar leluconmu, hyung.”

Alih-alih terduduk di bahu trotoar dekat tiang listrik, Daehyun menengadah ke langit pekat sambil tersenyum getir memandangi peranakan bintang yang tersenyum ke arahnya. Dia melanjutkan konversasi tersebut, “Ah, kau ini memang tidak peka ya?”

          “Aku malah jauh lebih peka darimu, merasakan bebanmu yang sulit kau tanggung lagi,” sembur Taehyung lengkap emosi, pula bergetar suaranya seperti hendak menangis. Tetapi apa mau dikata, Daehyun terlampau berdecih sambil-sambil mengeraskan kekehnya kemudian, “Anak ingusan sepertimu tahu apa? tidurlah, dan aku akan bangunkan jika perangnya sudah usai.”

          “Aku tahu bahwa sekujur tubuhmu pasti merasa sakit, hyung. aku paham, dan aku tahu isi hatimu yang enggan menatap Ibu, Jisun, Kak Minsoo juga aku yang ada di dalam sini. Ya, karena satu alasan—karena kau—pasti akan makin kesakitan, hatimu makin melemah dan malah semakin memperlambat durasi hidupmu. Aku tahu!”

          “Ya,” angguk Daehyun, di iringi senyum kecut yang lamat-lamat menurun hingga jadi tekukan masam.

          “Setidaknya bagikan rasa sakitmu itu pada Jisun, dan dia berhak tahu, berhak mengobati separuh jiwamu yang hampir mati itu.”

          “Ya,” lagi, kali ini ia menggosok hidung seolah-olah angin malam yang dingin menyumbat dua lubang indra penciumnya.

          “Oke, terakhir kalinya aku berkicau hal semacam ini. ku harap kau bisa memikirkannya. Hourglass milikku sudah menunjukkan masa habisnya, dan—itu dimana aku akan, aku akan,” kata-kata Taehyung yang semula mulus terkecap, tiba-tiba mesti terjeda kala mengingat ia akan—

          “Seharusnya kau beristirahat, profesor.”

Ketap-ketip derap yang halus mengupas kupingnya agar menoleh cepat ke sumber suara itu—berlangsung. Tanpa di undang, tanpa pesan apapun, sosok Jisun telah berdiri tegak di balik tiang listrik samping Daehyun terduduk. Alih-alih terkesiap yang meredam hening, pemuda itu beranjak menatap kuyu sang gadis yang beraut riang namun terbaca rapuh. iya, Jisun seolah berusaha tegar dengan gagah tubuhnya pula dengan senyum yang mengembang tipu daya. Cukup lama mereka terdiam, memantau suasana hati yang berbicara di lintasan angin malam yang menggelayuti kulit tertutup. Tak berkedip barang sejenak, ditambah senyum yang Jisun pasang pun masih setia terjaga kendati getar kecil mulai nampak di sudut-sudutnya.

Sampai benar-benar Daehyun mengatakan satu rangkai kata, Jisun masih setia berdiri menatap nanar; tersenyum palsu untuk Daehyun seorang.

          “Hentikan,” tekannya lantas maju dua langkah mengikis jarak.

          “Bae Ji Sun kubilang hentikan!”

Masih enggan mencerna, Jisun malah lebih memperlebar sorotnya, juga menghempas napas sesekali guna memperkukuh.

          “Baiklah,” pasrah Daehyun, sampai pada akhirnya ia menyerahkan diri pada Jisun. menenggelamkan dagu lebarnya di pangkuan bahu Jisun, dan benar-benar untuk pertama kalinya ia menumpahkan cairan hangat tak terkira. Sesenggukan sempat bermain hingga tubuh Jisun ikut bergetar, hingga gadis itu juga benar-benar melemah. Meluncurkan cairan yang sama sampai menjadi kesatuan isak di malam yang sunyi.

Cukup lama posisi mereka terengkuh satu sama lain, melontarkan bahasa hati selebihnya Jisun mengambil kemam berupa, “Kita harus terus berjalan.” Pun Daehyun merespon angguk yang masih di landa isak, dua gunduk pipinya penuh akan lumuran hangat tak terbatas. Bibir tebalnya masih bergetar. Untuk pertama kalinya, Jisun melihat rupa asli Daehyun yang sekiranya samar-samar: dapat mengelus pipi juga bibirnya yang masih dibungkus gemetar hebat. Tanpa Daehyun ceritakan semuanya, Jisun jauh lebih paham. Yang Daehyun butuhkan selama ini hanya berbagi,

Berbagi kesulitan dengan orang terkasih seperti Jisun. dengan begitu ia akan lebih ringan meski durasi waktunya takkan mampu membayar Jisun untuk waktu yang lebih lama.

Tak apa, Jisun rela asal Daehyun baik-baik saja hingga hari perang nanti. alih-alihpun kaki-kaki Jisun terjingkat menjangkau setara tubuh sang pemuda. Meraih dua pipi itu agar semakin mendekati batas bibir keduanya. Dan—tanpa instruksi lain, Daehyun merespon cepat lantas melumat pelan sampai kasar bibir itu, menumpahkan kesulitan hingga kesakitan yang ia pikul seorang selama ini. bumbu ekspektasi tentu mereka tabur, dengan dalih kebahagiaan menyertai di masa mendatang.

.

Sampai pada dimana, suara senapan mengalun gertak di berbagai tempat. Ledakan bom selebihnya menjadi andalah puas yang takkan pernah habis. Genap ratusan korban tergeletak di sana sini, berlumur getah kental berwarna merah pekat serta anyir ditiap bagian, pun potongan cabik dari ledakan besar di arah timur bercacah sampai ke sudut posko pertahanan. Beragam jiwa yang melayang, dimulai penuh darah sampai menghitam akibat bom besar-besaran. Semua itu takkan usai hingga kedua belah pihak mau mengakui kedamaian. Jeritan warga di dalam markas menjadi audiens paling menggetarkan hati seseorang. Tangis, raung, erang juga sejenisnya berpadu satu. Dimana pasukan ditiap lingkup maju makin di depan garis perang, menembakkan berbagai persenjataan guna menghanguskan garis pasukan musuh di seberang. Dan setelah mereka berkurang, barulah sebuah alat yang di jejak kaki-kaki layaknya teng baja merayap ke dekat perbatasan. Lantas pula menunggu pasukan lain berlindung ke tempat tak terjangkau dari gelombang itu. hingga akhirnya Yongguk yang menjadi penginstruksi, meluncurkan segera titahnya. Menunjuk objek dari balik kaca alat tersebut menuju pasukan besar di seberang sana. dalam hitungan menit, alat itu sukses melebur tanpa suara, tanpa peluru, pula tanpa ledakan semacamnya. Ya, gelombang itu tak nyata namun telah menyapu musuh-musuhnya.

Sehingga, beberapa orang disana terkapar tak sadar diri, tepatnya serentak seluruh orang terjeda seketika. Kecuali Jisun yang berdiri lantang dekat peperangan menatap sosok Daehyun berdiri tegak di tengahnya, sambil melambai tangan lengkap jubah hitamnya berkibar-kibar di hempas angin gurun. Sayup-sayup wujudnya mulai kabur, di awali dari kakinya yang hilang sebagian hingga—

Hingga 1 tahun kemudian, dua negara itu dinyatakan resmi berdamai. Lega lah seluruh warga dua negara itu, kini bisa saling bertukar kunjung ke masing-masing wisata kebanggaan. Tak ada lagi pihak egois, tak ada lagi pihak menggebu-gebu, kini mereka sepakat melukis ketentraman untuk kehidupan masa depan yang masih berkilau. berkat dirinya, berkat orang yang jelas bukan penduduk bumi itu telah menyatukan kedua negara yang terbilang di prediksi akan jadi musuh kekal selamanya. Ah, tidak lagi barang ia berhasil menuntaskan misinya pula merelakan segenap sisa energinya untuk mendamaikan dua pihak itu tanpa ada jatuh korban lebih banyak lagi. ya, orang-orang yang dikasihnya selama dibumi kini selamat dan bisa hidup bahagia.

.

.

.

Suara kringkring sepeda meluncur cepat dari turunan komplek tua di kota itu. inai-inai rambutnya terbang bersama tekanan udara dari laju kendaranya. Dua tangan lantas terangkat ke atas sambil menyeru riuh mengusik penghuni lain yang mayoritas jompo tengah olahraga jalan rutin di pagi hari. Sedang di penghujung komplek terlihat lah wanita paruh baya menyingsing lengan kemeja longgar motif bunganya, berjaga-jaga menghentikan laju pemuda itu yang takkan berhenti sampai batasnya.

Satu, dua…tiga.

Taehyung melempar sepeda dan lekas masuk terbirit-birit guna menghindari sang ibu yang telah di landa emosi akibat ia berani meninggalkan pesanan pelanggannya di taman kanak-kanak. Lantas sang ibu berkacak pinggang, memasuki kediaman tersebut sambil lalu meraih sebelah kuping Taehyung yang menganggur karena empunya asik menyomot kue beras yang tersedia di teras. Otomatis pemuda itu kegaduhan, meronta-menendang angin sekuat tenaga rasa-rasa panasnya telinga itu di pelintir sang ibu dengan sangat amat.

          “Sakit, bu!”

          “Jika kau ulangi lagi, ibu akan—“

          “Apa? tidak akan berkunjung ke markas tiap tahun lagi, hn?” potong Taehyung, maka wanita paruh baya itu memainkan mulut jampi-jampinya seolah menyumpahi Taehyung menjadi pengangguran saja.

          “Oke bu, lagi pula aku punya jatah liburan satu bulan disini. jadi, akan ku puaskan mengacaukan ketentraman ibu selama ini, huh.”

Alih-alih berucap demikian, Taehyung membanting tubuhnya laun ke hamparan teras kayu yang mengkilap. Di tatapnya surya dengan dua tangan tersilang sambil membayangkan hal-hal yang sekiranya dapat terwujud. Ya, ada sosok yang ingin ia temui belakangan ini. rindu rasanya, “Apa kabar, hyung?”

Kemam itu meluncur di iringi getar ponsel dari samping, adalah Minsoo. Kakak perempuan yang sebelumnya tak dapat dilihat, kini bisa ia temui kapanpun dan dimana pun. Kabarnya gadis itu sudah menjadi dosen terkenal, pula kadang masuk layar kaca karena porsi tubuhnya menarik bak seorang model. Kendati demikian, di publik hal layak itu ia membagikan berbagai ilmunya yang di dapat susah payah dari harvard betahun-tahun, tidak—juga tambahan sosok Daehyun yang kadang mendorong ide baru, usul mengesankan yang tak pernah terpikirkan oleh Minsoo sendiri. lamat-lamat Taehyung keluar dari rumah, lengkap pakaian rapi berbalut kaos zebra tertutup style jas biru muda yang punya satu setel celana putih pensil. Dirinya melempar sejemang kunci kendara jenis SUV ini, pun tanpa sengaja malah terjatuh—masuk ke dalam kolong mesin-mesinnya.

Setelah ia dapatkan kembali kunci itu, ia lekas membuka pintu dan—

          “Hyung, setidaknya uang saku ku perlu di tambah jika kau masih ingin ku bantu membohongi ibu.”

Decak Taehyung terkelupas, ditambah tangan kanan menepuk dahinya dan berkacak pinggang mengawasi pandang dengan sang adik.

          “Ya! Kim Tae Joon! Setidaknya kau juga harus pikirkan keuanganku bulan ini, Aish.”

          “Ya sudah, aku akan membongkar soal kencanmu dengan wanita tua itu.”

Taejoon berderap lamban alih-alih sengaja membuat sang kakak gemas karenanya. Dugaan lantas terbenarkan, manakala Taehyung menarik kerah seragam Taejoon dan menyampirkan dua lembar won di baliknya.

Anak itu lantas menggerayangi tengkuk, dan mendapati uang itu hanya sebatas uang palsu. Kendati semburat sudah terpatri bahagia sebelumnya, kini Taejoon mesti rela mendengus sebal karena menangkap sang kakak telah berlalu jauh dari pandangnya. “Argh, Sial!”

.

Di tengah kota, keramaian festival besar-besaran berlangsung meriah. Banyak orang memakai kostum buah, bunga, badut dan sejenisnya. Saling menaiki kendaraan yang dirangkai atribut unik seperti kostum-kostum mereka. ada penari seksi juga lalu lalang menggoda pengunjung untuk turut berbahagia. Dilihat dari pinggir trotoar, Taehyung asik sekali menjilati es krim rasa pisang. Sesekali dua maniknya sibuk mengamati dancer itu, ditambah mulut yang menganga. Pun tak sadar saja bahwa kudapan cairnya tadi sudah beralih ke tangan seseorang.

          “Belikan lagi dong!”

Sigapnya pemuda itu menolah dan mendengus sebal, “Ah—kau,” gadis itu lantas menjulurkan lidah selagi kembali menjilati es krim tersebut.

          “Ayo, kak Minsoo sudah menunggumu.”

Dia—adik Minsoo, seusia Taejoon masih duduk di bangku tingkat menengah tapi lagaknya agresif sekali. terlebih soal menggandeng tangan Taehyung saat ini, berlari-lari menerobos kerumunan warga kota yang ramai menikmati pertunjukan festival itu. tapi—sang pemuda seolah tak peduli, membiarkan tangannya di genggam erat semacam itu kendati memang keinginan yang terselubung. Senyum miringnya begitu kentara di haluan angin yang mereka lawan, lalu ikut berbelok manakala gadis itu memasuki sebuah kafe klasik bernuansa eropa.

Disana wanita setengah usia tiga puluhan tengah mengelus perut buncitnya, sedang tangan lain mengangkat cangkir porselen yang berisi minuman latte khas kafe itu. nyaris menyesap, namun sang adik keburu membanting Taehyung duduk berseberangan dengannya. Dan ia menaruh kembali cangkir tersebut, memiringkan setengah kepala alih-alih senyum sejuk dipadu makna terpatri jelas. Ya, kiranya Taehyung cuma bisa mengusap tengkuk sambil dalih terkekeh malu di perlakukan semacam tadi oleh adik kedua dari wanita di seberang.

          “Lagi, kamu membawanya seperti itu. dia kan pacarmu, harus diperlakukan baik-baik, Minhee.” Semula memang bertatap ramah ke arah Taehyung, lantas bergulir decak pada sang adik yang hanya mengeluarkan kekeh yang berimbang duduk bersebalahan bersama prianya.

Wanita itu memperbaiki silang kakinya dan berdeham, “Aku bertemu Jisun kemarin siang,” sayup-sayup suasana di lingkup mereka tiba-tiba sekian hening. Hanya ada iringan musik klasik yang mengalun laun serta tiga kepala yang merunduk, kendati mengetahui jawaban apa dari cerita Minsoo kali ini.

          “Dia bilang, ayahnya memiliki pria baik-baik. dan mungkin dalam waktu dekat dia akan menikah, menyusulku.”

Taehyung tahu, sesap bibirnya menggambarkan tempo pertemuan yang sama dengan Jisun minggu lalu. sengaja ia mengendapkan konversasi itu, alih-alih mencoba memahami perasaannya. Satu tahun ia tak menyentuh suatu hubungan, mengunci hati sebab yakin bahwa yang di kasihnya akan kembali suatu saat. Namun memang benar keputusan Jisun, bahwa dirinya harus tetap berjalan sesuai perkataan yang ia lontarkan kepada Daehyun dahulu. Taehyung beserta Minsoo menyetujui, biarpun hati masih bertaut pada Daehyun yang telah lenyap tanpa jejak, Jisun memang masih harus terus berjalan, mengarungi petualangan baru bersama pria lain yang mungkin jauh lebih mencintainya. —lama kemudian, perasaan baru itu akan tumbuh dengan sendirinya. Tetapi itu baru pemikiran Minsoo dan Taehyung saja, entah apa yang akan terjadi kedepannya.

Saling mengembus napas, Taehyung menatap Minsoo dan berkata, “Aku akan menemuinya guna memberi dukungan.” Lantas wanita itu Cuma mengangguk, “Tentu, karena kau lebih dekat dibanding aku yang bertemu dengannya satu kali seumur kita mengenal nama saja.”

Senyum miring Taehyung tergambar kala Minsoo pula ikut tersenyum sama dan menoleh ke arah Minhee, “Jangan cegah dia lagi, toh—Taehyung tidak akan lari darimu.” Gadis itu mengerucut bibir, melempar tatap kilatnya ke samping Taehyung guna mewanti-wanti.

          “Aku janji akhir pekan nanti ku ajak nonton film, setuju?” mengelus poni gadisnya, lantas Taehyung tersenyum seri melihat Minhee mengangguk semangat, kendati memang itu sebatas suapan Taehyung agar gadisnya mengerti keadaan.

.

.

.

Suasana biasa terpancar di area kepolisian; kala menampilkan rutinitas petugas keamanan tengah meringkus para berandal penyebab kriminal perkotaan. Ya, baru saja dua orang polisi menarik satu pencopet di tengah festival tadi ke hadapan gadis yang tengah sibuk mengetik sebuah berkas penting.

Dari kacamata yang bertengger di hidung, ia menurunkan sejemang lantas membalik telapak tangan ke sisi dua pipi pencopet itu. gesturnya sungguh keren, berkacak pinggang dirinya lantas menginstruksi dua polisi itu; menolehkan kepala ke arah kanan adalah tempat jeruji berjajar mengurungi kawanan berandal liar. Bagi nya, kasus barusan adalah kasus paling sepele yang tak perlu mengotori tangannya banyak-banyak.

Ia kembali duduk, dan menenggak terlebih dahulu kopi hitamnya sebelum ia lanjut mengetik.

Alih-alihpun siluet lain datang lagi, adalah rekan satu tim nya dari dulu yang kini bertugas menjadi detektif bawahannya. Lelaki itu menumpu tangan di bagian berkas yang menumpuk kacau, dan berkata “Bahkan kau setia tidak tidur semalaman, Letnan Ji.”

          “Ya,ya, sebaiknya kau juga kembali pada tugasmu karena berkas ini cukup penting untuk kita rapatkan.” Tangan melambai selagi tatap masih pokus pada layar monitor, sedangkan Zelo sendiri malah terkikik serta-merta berkicau lagi, “Aku tahu kau sedang bekerja keras untuk mendapat cuti pernikahan nanti.”

Lirikan kilat lekas tertuju, Jisun beranjak lantas berkacak pinggang melihat Zelo tak berani lagi menetap disana alih-alih takut Jisun mengambil senjata apinya dari balik saku.

Tapi semburatnya kini malah terlampau kuyu, menatap layar monitor. merasa-rasa keinginan untuk melanjutkan pekerjaanya sudah luntur sebab celetuk Zelo barusan. Bukan dari segi bercandanya, namun satu kata yang terselip dari kalimat itulah yang membuatnya melemah. Pun tatap kini bergulir ke bingkai foto sang ayah di atas nakas, melempar tanya banyak-banyak apakah keputusan tersebut adalah yang terbaik, Jisun benar-benar belum paham sepenuhnya.

.

Terlepas dari pekerjaan yang sengaja ia tinggalkan demi meminum satu botol soju di penjaja kaki lima, dirinya kini telah mabuk dan terkadang berulang kali bangkit lalu membenturkan kembali kepala ke atas meja sambil berkicau tanpa henti-henti.

          “Daehyun, aku tahu kamu melihatku di penjuru sudut,” Jisun menenggak kembali satu gelas kecil berisi soju itu dan menambahkan, “tapi kamu tega-teganya meninggalkanku.” Dan kini ia makin meracau tak jelas, menggebrak meja hingga pengunjung di seberang makin risih lantas menyeretnya keluar; melempar tubuh Jisun hingga tergeletak masih di bawah kesadaran.

Tangannya melambai ketika ia telungkup seperti itu, selalu dan selalu wajah Daehyun tampak meski hanya sebatas halusinasi Jisun seorang. Genap enam tahun dirinya kerap melampiaskan kerinduan itu dengan cara menyedihkan semacam ini, di lempar atau bahkan di caci oleh pengunjung lain tiap ia minum di kedai-kedai bukan masalah biasa lagi. meski pangkat telah di pandang baik oleh jajaran bawahannya, tapi Jisun tak dapat mengelak bahwa dibalik itu semua ia menyimpan kesedihan mendalam yang hanya diketahui beberapa orang saja. kini ia beranjak, mendudukan diri menatap jalanan sepi yang hanya tersentuh beberapa mobil hilir mudik di sepertiga menjelang tengah malam. Ia menekuk lutut, menyembunyikan wajah lalu menengadah lagi ke atas langit serta menunjuk salah satu bintang disana,

          “Procyon, kamu bilang tinggal disana ‘kan?” kekeh Jisun yang tanpa tenaga mengalun seiring tubuhnya juga ikut bergoyang ke samping kanan-kiri. Telungkup kembali, lalu menengadah lagi, “Kan ku kutuk penguasa negeri itu dengan kekuatanku, lancang sekali, lancang s-sekali dia—

Jisun mulai menitikan embun, terisak-isak masih menunjuk bintang itu yang faktanya bukan bintang yang dibicarakan Daehyun. yah, menangis deras dirinya sambil melanjutkan potongan kata-kata tadi berupa, “—dia sudah melenyapkan Daehyun-ku, membuatnya menderita selama di bumi, jahat sekali mereka! aku benci bintang, dan untuk pertama kalinya bintang menjadi buruk di penglihatanku!” kini ia meracau, semakin mengeraskan tangisnya hingga sesak dadanya menimbulkan gelengan di kepala, bahwa dirinya sudah tak tahan lagi. Jisun beranjak, tertatih masih terisak-isak menyebut nama Daehyun, mengumpat nama bintang di atas sana. dia—sudah cukup terlampau malang.

Hingga pria dibalik punggungnya, ikut terisak. Menengadah langit sambil mencuatkan raut yang meringis akan tangis. Ingin sekali ia memapah langkah Jisun, namun apa daya ia tak bisa menjadi lelaki yang kuat saat ini.

Enam tahun ia mencoba menerima keadaan sama halnya seperti Jisun juga Minsoo, tapi—itu akan menjadi topeng palsu bilamana ia melihat Jisun seperti itu, meraung-raung menyebut nama Daehyun yang sesungguhnya bak mengguncang hati Taehyung di dalam sana. hadirnya Daehyun benar-benar telah membekas, dan bahkan ia bersedia bertaruh, kembali hidup di lingkup jejeran cermin-cermin itu asal Daehyun kembali dan menjadi kakak yang sigap melindungi adiknya.

Semua berharap Daehyun kembali,

 ….

Pertengahan April;

Esok adalah dimana Jisun akan melepas kesendiriannya, esok pula ia akan menghadap laki-laki yang jelas bukan seorang Daehyun. ya, menyetujui perjodohan itu kiranya penawar terbaik untuk masa kelamnya selama ini. di samping itu, semua orang terdekatnya mendukung amat demi kelancaran dirinya melupakan sosok Daehyun.

Tiga hari ia tak menjalankan tugas, mengambil cuti sejemang untuk mengurus hal-hal yang menyangkut pra-nikah. Orang yang paling bahagia melihat ia akan disanding seorang pria adalah, Ayah Jisun. dirinya yang kini terduduk di kursi roda lengkap surai putih sebagai simbol usia menuanya akan tersenyum tak henti-henti di hari esok. Akan merapalkan do’a sebanyak-banyaknya untuk kebahagiaan sang puteri bersama pria pilihannya. Iya, Jisun tahu maksud sang ayah hingga nekat sedemikian rupa, segalanya semerta-merta untuk masa depan Jisun. kendati ia tak tahu dengan siapa puterinya menaruh hati, ayah jisun cuma tahu bahwa puterinya jika terus-menerus sendirian, khawatir takkan mengenal laki-laki lagi. tapi justru hal tersebut malah terbilang salah besar, disitulah letak pedihnya hidup Jisun: tak dapat menjabarkan cerita sebenarnya pada sang ayah kendati ia takkan dapat percaya sepenuhnya, dan mungkin hanya menganggap Jisun telah lelap dalam kalbu walau Ayahnya mengerti soal kejiwaan. Iya, dari paham itulah ayahnya hanya menafsirkan demikian, kalau Jisun memang memberitahu kronologis kisah cinta sebenarnya.

Kaki-kaki Jisun terangkat di atas ayunan yang membuai ke depan serta arah baliknya. Tersenyum rapuh di atas angin yang berbahagia, itulah Jisun. akan melupakan kisah cinta usang di masa lalunya, akan memaksa melupakan sosok yang melekat dalam benak serta saraf, juga akan menggantikan posisi Daehyun yang sebelumnya berharap akan mendampingi Jisun hingga kelak. Angan-angan kosong, sudah lama ia ingin menghentikan adegan dramatis semacam ini. lelah dirinya mesti menangis, meraung-raung demi memanggil Daehyun masuk kembali ke kehidupannya. Yah, sudah saatnya esok hari ia harus ikut tersenyum bersama orang-orang yang masuk dalam kategori berbahagia.

Seiring kaki menapak ke dasar pasir, Jisun menoleh mendapati sosok Taehyung tengah berayun-ayun selagi menjilati es krim rasa pisang, kesukaannya. Ia sempat berdecih dan menyahut, “Harusnya kau tak perlu kemari kalau hanya membawa satu bungkus saja.”

Menjeda aksinya, Taehyung lantas menyodorkan satu bungkus es krim rasa vanilla yang sengaja ia beli sebelum berniat menemui Jisun. lekas-lekas tangan itu meraih, dan menjilatnya sama persis seperti Taehyung; dilengkapi ayunan yang membuai laun, menikmati kesejukan di musim semi.

          “Ku harap kehidupanmu akan kembali putih seperti warna vanilla itu,” lelaki itu membuka suara, di selingi membuang stik bekas es krimnya barusan. pun Jisun dari samping menyahut, “Aku jadi ingat dimana Daehyun menyodorkan satu gigit sosis ke wajahku,” selagi menatap lurus, ia menambahkan “sosis itu menjadi pembuka dimana aku mulai menganggapnya nyata, adalah pembuka kehidupan yang berkobar bagai api yang memanggang sosis tersebut menjadi legit untuk di santap perut lapar seperti kita.” jelas sekali senyum itu nampak kecut, alih-alih napasnya seakan sesak bilamana mengingat masa terdahulu bersamanya. Kini Taehyung merunduk, merangkai kata-kata guna menjawab ungkapan Jisun tadi. lalu menengadah kembali, “Tapi kau mesti mencari panganan lain untuk mengganti sosis itu, Jisun-a.”

          “Aku tahu,” lagi dan lagi senyum Jisun terlampau kecut.

          “Kamu tidak tahu kan berapa persen aku menaruh kepercayaan bahwa kau akan bahagia kelak nanti,” lantas gadis itu berdecih, “Sejak kapan kau bisa mempercayaiku, hah?”

          “Eum, sejak kau berani menaruh hati pada hyung-ku.”

Skakmat, tak ada lagi konversasi selanjutnya. Hanya ada lambai tangan mereka menyudahi cakap tadi dengan berbalik arah menuju kediaman masing-masing sebelum Taehyung dari kejauhan menyeru, “Omong-omong, apa kau sudah melihat calon suamimu?” di kejauhan Jisun tersenyum simpul sambil lalu menjawab, “Belum, aku tidak berharap melihat wajahnya pada saat di altar nanti.” alih-alih pun Taehyung terkekeh, lalu punggung mereka lekas saling berbalik dan meninggalkan tempat tadi. meninggalkan dua stik es krim penggambar cerita masa lalunya.

Dan lanskap segera bergulir ke hari spesial Jisun. dimana para tamu berbondong-bondong menjangkau bangku paling depan guna menangkap momen terpenting Jisun hari ini bersama pria yang di gadang-gadang calon suaminya itu.

Taehyung dan Minhee telah hadir mengenakan setelan resmi yang menarik, rupa nya semakin menandakan kesan tampan dan cantik ketika balutan kemeja putih di selingi jas warna hitam serta gaun pink pastel melekat ditubuh mereka masing-masing. Terlebih sejak tadi Minhee enggan menyingkirkan lengannya yang bertaut di tangan Taehyung, dirinya memang seperti itu. toh, lelaki di sampingnya tak pernah keberatan. Kalau perlu Taehyung berharap lebih Minhee bisa mengecup pipinya berulang kali jika sedang bermesraan semacam ini. ia terkekeh, alih-alih memikirkan hal demikian. Terlampau bingung, Minhee bertanya “Kau baik-baik saja ‘kan?” sempatnya Taehyung mengucap iya—tapi suara derit pintu besar di belakang telah menyongsong sang pengantin pria memasuki altar dengan wibawa super elegan. Dan teruntuk Taehyung, dimana orang-orang berdiri menyambut pengantin pria, dirinya malah tergesa-gesa ingin menjangkau jarak penghujung bangku demi meyakinkan kalau itu bukan—

          “Kenapa?” Minhee berbisik, disaat semua orang sudah duduk kembali demi menunggu sambutan calon pengantin wanita selanjutnya.

Ya, yang bisa Taehyung lihat hanya sebatas punggung yang membelakangi para tamu. Aneh, baru kali ini ia melihat pengantin pria enggan menyapa lidah red carpet yang menjulur ke ujung pintu. gesturnya tak terlalu tinggi, potongan rambutnya pendek sama persis seperti Daehyun yang ia lihat ketika pertama kali bertemu. Iya, Taehyung belum bisa memastikan kalau itu Daehyun sebab dirinya hanya melihat sekilas lantaran orang-orang di sampingnya sedikit menghadang penglihatan detailnya.

Selang lima menit kemudian, pintu terbuka kembali; menampilkan sosok Jisun telah dibalut gaun putih yang menjuntai menyapu beludru karpet. Beirama langkah sang ayah yang di paksa tertatih menepikan Jisun ke si calon pengantin pria. Jisun terus melangkah anggun—jauh berbeda dari kebiasaanya pada saat tengah bertugas. Kesan tamu yang hadir, terus beriuh ‘cantik sekali’. Iya, dia memang cantik di balik cadar chiffon lantas melangkah hati-hati, masih belum sepenuhnya meluruskan tatap. Dia masih merunduk, dan Taehyung yang melihatnya teringat perkataan Jisun kemarin bahwa ia takkan melihat wajah prianya.

Akan tetapi, salah besar bilamana ia tak menenggak wajah, melihat rupa siapa yang sudah berbalik untuk menjemput dirinya. Jelasnya Taehyung sontak terkesiap, dua manik bergetar hebat penuh binar. Sementara hatinya ingin menjerit keras-keras guna memberitahu Jisun agar lekas menatap lurus serta memastikan siapa gerangan. Inginnya begitu, tapi—

          “Selamat datang kasih,” di panggil demikian seraya satu lengan pemuda itu sudah menjulur guna meraih lengannya, gadis itu tersentak lalu perlahan menatap laun siapa lelakinya. benar saja, dari hati yang bertalu-talu mengingatkan kepada sosoknya, kini dapat dipercaya penuh bahwa lelaki di hadapannya benar-benar,

          “Dae-hyun,”

Momentum seketika terjeda; para tamu cukup dibuat heran mengapa mereka malah saling tatap, saling melempar manik sendu semacam itu. Terlebih kepada ayah jisun yang tak tahu apa-apa, melihat sang puteri begitu menganggumi lelakinya—kendati pertama kali bertemu, tentu turut bahagia. ditambah Taehyung, kini sudah berdiri lengkap aliran embun dari pelupuk, bertepuk tangan menggiring orang-orang untuk riuh-riuh menyorakkan momen mengharukan tersebut.

          “Bae, mari kita lanjutkan perjalanan ini.” tutur Daehyun, lantas Jisun lekas mengangguk, pun tak ingin membuang waktu lebih lama lagi; mereka menaiki altar, menghadap sang pendeta lalu mengikrar lantang janji suci tersebut.

Sahutan meriah bergemuru di dalam gereja, pula tepuk tangan tak henti-henti tatkala sepasang pengantin itu memagut kecup sebuah kerinduan. Sungguh mengharukan, Taehyung tentu terus mengukir senyum haru sekaligus bahagia.

Kali ini Daehyun berupaya membopong tubuh Jisun, lalu menatap ke arah Taehyung yang kini perlahan meneteskan bulir-bulir hangat ketika pria disana menyahut pula, “Untuk seseorang yang sudah bersedia menjadi adikku, terimakasih dan, Kim Taehyung—apa kau sudah bisa memakai popok dengan benar?” lantas gemuruh tawa seketika memenuhi, kendati tanpa tahu kisah sebenarnya. ya, lelaki yang di panggilpun berdecih lantas menyahut—

          “Kalian cukup memberiku hadiah keponakan yang manis.”


.

-THE END-


INTERVIEW

 .

Q : Bagaimana seorang Jung Daehyun bisa kembali?

DH : Aku bereinkarnasi menjadi Ki Jihoon, berprofesi sebagai ahli bedah di rumah sakit ayah Jisun. meski aku bekerja disana, aku tidak pernah melihat dirinya. Kami saling bertolak arah, dan hebatnya aku tak mengingat apapun terkecuali setelah dua tahun kemudian. Semua memori kembali menguar, dan takdir kembali memberi celah kami untuk bertemu.

Q : Lalu apa yang kau lakukan setelah mendapat ingatanmu kembali?

DH : Aku sering memantau pekerjaan Jisun dari kejauhan, aku sering melihatnya mabuk di pinggir jalan, muntah dijalur trotoar dan memanggil namaku berulang kali. sesungguhnya hatiku cukup teriris melihat penderitaanya seperti itu, sesekali aku menampakan diri dikala ia tengah mabuk. Mungkin menurutnya dia berhalusinasi, tapi yang jelas aku memang ada disana.

Q : Apa yang membuatmu bisa menikahi Jisun?

DH : Ayahnya menawariku sebuah perjodohan, dia bilang sesudah peperangan; anaknya terus murung setiap bangun tidur, dia bilang juga anaknya jadi protektif terhadap pekerjaan yang di gelutinya. Sejujurnya ia khawatir dengan pekerjaan Jisun yang begitu membahayakan. Tapi apa mau dikata, itu adalah mimpi Jisun yang terlanjur nyata. Ia tak bisa mencegah terkecuali satu harapan kebahagiaanya yang lain ialah, menikahkan Jisun dengan pria sepertiku. Pria yang berprofesi sebagai dokter, ahli bedah.

Q : Apa itu procyon?

DH : Procyon adalah bintang yang bersinar setiap 11,41 tahun sekali. itu negeriku, ketika akan diadakannya pergantian cahaya, aku di lempar ke bumi karena alasan menyalah-gunakan kekuasaan. lalu kelenyapanku juga tepat 11,41 tahun sama seperti aku datang ke bumi. dan kembalinya, selang satu bulan kemudian menjadi Ki Jihoon. Anak sebatang kara yang sudah lulus dari harvard bergelar kedokteran dibidang anestesi.

Q : Wah, procyon itu negeri seperti apa?

DH : Negeri yang, ah—kalau menurutku sih lebih nyaman dibumi. Tapi soal penggunaan supranatural, tentu procyon menang banyak. (tertawa)

Negeriku itu agak tandus, tak ada pepohonan kecuali bangunan samar seperti oase yang berkilau penuh cahaya. Sehari-hari kami beraktifitas mengemukakan cahaya besar untuk 11,41 tahun kemudian. Kalian tidak akan percaya bahwa bintang kami pasti paling indah bila dilihat dari kejauhan.

Q : Bagaimana bisa kau menyalah-gunakan kekuasaan itu?

DH : Ah iya. begini, aku yang dulu punya watak badung, egois dan tak mau dengar apa yang dikatakan orang lain. Saat itu atasanku memberi kepercayaan untuk mengawasi kawasan L, yah—aku mengiyakan namun tugasku tak sepenuhnya tercekal. Aku sibuk bersantai di arah timur dekat sumber kekuatan. tak sangka-sangka pekerja yang ku pegang itu beberapa tak sadarkan diri, sehingga menyebabkan terlepasnya transfer cahaya tersebut, menyusul pula sirine berdenging keras. Pertanda area tersebut akan melemah, dan sumber cahaya untuk 11,41 tahun mendatang bisa menjadi pengakibatan fatal. bisa-bisa seluruh negeri ini akan gelap tak bercahaya selama ratusan tahun. Dari sanalah, tetua yang berkuasa segera menendangku ke bumi yang tak pernah ku pijak sebelumnya.

MC : Jung Daehyun-ssi, peranmu disini sungguh luar biasa~

DH : (tertawa) tidak juga, kalau bukan Jisun yang menjadi lawan mainku tidak akan ku ambil drama fanfic ini.

Q : Untuk Kim Taehyung, bagaimana rasanya terpenjara di ruangan berkaca itu?

TH : Astaga, yang jelas aku merasa pengap disana. setiap hari aku hanya menyisir rambut dengan jemariku tepat dihadapan cermin-cermin yang mengelilingiku itu. aku tertidur cukup lama sebenarnya, dan setelah ku bangun, suara-suara dari atas sana seakan menjadi gema yang tak pernah usai. Daehyun, mengendalikan tubuhku memang dengan tujuan yang baik. tapi tidak semestinya juga aku terkurung disana, huh. (mendengus)

Q : haha, apa itu sebuah kekesalan?

TH : Tentu saja, kira-kira jika kau yang ada di dalam ruangan sepengap itu mau bagaimana hah? Aku sih, enggan. Ah tapi tidak juga, bagaimana ya… Daehyun juga sudah menjadi mentor bayang, maksudku dari pengalaman yang ku lalui di dalam sana, aku bisa mendengar gema hati dari seorang Jung Daehyun. aku berubah jadi sosok yang berbeda dari masa kecilku dulu. pikiranku seolah terbuka untuk menatap masa depan, dan ketekadan ingin menjadi tentara semakin berkobar kala Daehyun dari luar berjuang keras untuk mengubah watak asalnya. Benar katanya, bahwa kita saling timbal balik. (terkekeh)

Q : Baiklah pertanyaan terakhir untuk sang penulis. Apa dibalik judul Who I Am yang kau dedikasikan di drama ini?

A : Who I Am adalah sebuah penggambaran siapa Daehyun, dan juga siapa Taehyung sebenarnya. aku membuat fanfic/drama ini hanya sebatas keisengan belaka. Terinspirasi dari drama ‘My Love From The Star’. Well, orang bilang drama fanfic ini malah menyerupai ‘Descendant of the sun’. Tidak, sama sekali tidak… aku membuatnya sebelum  tertarik untuk mengikuti/menonton drama tersebut dari per-episodenya. Sejak awal memang sudah ku rancang adegan action dan peperangan, tapi sepertinya action bukan bakatku. Aku hanya bisa menjabarkan kealotan perang tersebut dengan narasi seadanya. Singkat dan mungkin kurang feel. Aku malah merasa disini memang lebih banyak mempertahankan keadaan daripada menonjolkan detail-detail dari setiap adegan/dialog. Aku juga bukan penulis yang mudah mendramatisir, jadi apa yang ku tuang di tulisan ini adalah kebebasanku dalam mengekspresikan cerita. So, aku harap tidak akan ada nama judge di kolom review dan sebagainya. Bilamana ada kesalahan/ketidak jelasan menulis, serta kecepatan alur, mohon di maafkan. Karena penjadwalan ku hiatus beberapa minggu dari dunia fanfic sudah menghitung hari, hanya bisa sampai terselesaikan di chapter 4 ini. aku harap, kalian juga puas atas endingnya fanfic ini. jika ada waktu luang, ku usahakan agar bisa menulis series oneshot untuk who.i.am.

Sekali lagi, terimakasih kepada semua yang sudah mengikuti fanfiction sederhana dan membingungkan ini.

note : italic hilang pada saat di paste ke badan pos, jadi mohon maaf bilamana ada kata asing yang tidak sempat di italic.


Regards, junlois

2 respons untuk ‘WHO.i.AM #4-END

  1. Kyaaaaa asdfghjkl >.< kereeeeennnnnn
    Bahagia akhirnya Dae udh gak brda d tubuh V lagi hehehee…
    Jd V sm Minhee kan?n
    Awalnya udh ku tebak pasti Dae yg jadi suami Jisun..
    Hmmm beruntung Jisun^^
    Btw jisun itu tau gak klo yg dia nikahi itu Daehyun sesungguhnya yg selama ini ada d tbh V?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Tadinya mau dibikin dae ga balik lagi, tapi kasian juga sih :v T_T akhirnya ending malah tercipta begitu. 😀
      awal-awal gatau karena dia gamau kenalan dulu jadi intinya dia mau nikahin ‘cowo’ itu dengan syarat ketemunya pas di altar nanti 😀 :v nah, terus disana ada scene dimana dae julurin tangan ke dia kan? jisunnya udah ngerasa janggal tu. pas di tengok, yah beneran daehyun deh. :v sebelumnya dia emang udah tau wujud dae yg pas sebelum perang plus lagi perang disaat detik-detik dae ilang. jadi, dgn tau wujud sesingkat itu jisun pasti bakal hapal betul2 muka dae bagaimana. 😀 :v

      iyep, tae sama minhee… oc yg dadakan :v 😀

      Suka

Tinggalkan komentar